Sudah dua hari ini emak tidak jualan,
dan untuk
sementara aku ingin
menggantikannya berjualan di pasar tempat biasa emak berjualan. Untuk mencukupi kehidupan kami
sehari-hari, emak harus berjualan di pasar. Emak
berangkat ketika
semua orang masih dalam buaian mimpinya, dan kembali pulang ketika terik panas matahari berada di atas kepala
orang dewasa .
Kami
tinggal hanya berdua di sebuah rumah atau lebih tepat disebut gubuk reyot di ujung jalan, disanalah emak membesarkanku sendirian.
Entah kemakna perginya ayahku yang tidak bertanggung jawab itu, dia tega
meninggalkan emak dan aku yang saat itu masih dalam gendongan emak.
Aku sering memakksa untuk membantunya berjualan
di pasar sebelum berangkat sekolah,
tapi emak selalu melarangku
dan dia selalu berkata seperti ini,
“Kamu
itu tugasnya belajar, supaya menjadi pintar, sholehah dan jadi orang yang sukses jangan seperti emakmu
ini, selalu dibohongi orang lain. Kalau kamu pintar dan
sholehah kamu
bisa membahagiakan emakmu ini juga.”
Aku
selalu mengalah dan mendengarkan kata-katanya, memakng aku sekolah karena ingin
membahagiakan emak. Emak
bekerja keras supaya aku bisa tetap
merasakan bangku sekolah seperti anak-anak lainnya, sungguh pengorbanannya
itu tidak bisa kuganti dengan apapun, dunia dan seisinya pun tidak mampu
membayarnya.
Dua hari ini emak sakit, meskipun
sakit dia tetap melarangku untuk menggantikannya berjualan di pasar. Dengan
sedikit paksaan akhirnya dia mengalah dan membiarkanku berjualan menggantikannya. Karena kalau
tidak berjualan, nanti kami mau makan apa? Dan emak juga harus dibelikan obat,
dengan alasan itu sekarang aku telah berada di pasar menggantikan emak
berjualan.
Ternyata yang selama ini emak
kerjakan tidak semudah yang kubayangkan, berjualan di pasar itu begitu
ricuh dan melelahkan, pantas saja emak selalu melarangku membantunya berjualan.
Ternyata emak tidak ingin aku melihatnya kelelahan.
Tanpa
kusadari air mataku jatuh, aku begitu sangat beruntung walaupun hanya mempunyai
emak, ibuku satu-satunya, yang selalu menyayangiku
Pagi-pagi aku pergi ke pasar untuk berjualan
menggantikan emak jualan, dan pulang saat tengah hari. Untung aku bisa meminta
jadwal sekolahku dipindah ke waktu siang, sehingga sepulang berjualan aku masih
tetap bisa sekolah. Karena di sekolahku ada dua jadwal, kelas a kebagian
belajar pagi, sedangkan kelas b kebagian belajar siang,
# # #
Hari ini aku masuk sekolah pagi lagi setelah satu
minggu aku masuk di sekolah siang. Pagi
ini aku senang, karena aku bisa bertemu dengan sahabat-sahabatku di kelas.
“Hey,, Ras. Kemakna aja kamu?” kata
salah satu sahabatku
ketika aku baru sampai di tempat dudukku.
“Ada kok,
cuma kamunya yang nggak pernah ketemu sama aku..hehe..”
“Oh iya, bentar lagi kan tanggal 22
desember, kamu tahu hari
peringatan apa itu?”
“ehm..hari
peringatan apa memakngnya?” aku penasaran, memakngnya ada hari peringatan apa
di tanggal 22 desember itu?
“Hah?
Masa kamu nggak tahu sih?”
“Duh
Rosi, jangan bikin aku bingung deh.”
“Coba
kamu pikirin dulu, di tanggal 22 Desember itu ada peringatan hari apa?”
Aku
mengikuti saran Rosi, memikirkan ada apa di tanggal 22 Desember itu.
“Oh
iya, hari ibu kan?” aku jawab dengan girang.
“Iya
betul, tanggal 22 desember itu hari ibu. Kamu sudah memikirkan mau ngasih apa untuk
emak?”
“Oh
iya, aku baru inget, berarti dua
minggu lagi ya waktunya?”
aku terkejut.
“Yaps, berarti kamu belum kepikiran untuk
ngasih ke emakmu ya?”
Aku
mengangguk pasrah, kenapa aku lupa.
“kamu
mau ngasih apa untuk mamamu?” aku
bertanya pada Rosi, pasti dia sudah memikirkannya.
“Ada deh, rahasia.”
Rosi
hidup berkecukupan, apapun yang dia pinta selalu dituruti oleh kedua
orang-tuanya yang sangat menyayanginya. Dia juga anak yang baik kepada kedua orang-tuanya,
dia pasti akan memberikan kado special untuk mamanya. Kalau
aku mau ngasih apa pun untuk emak aku nggak punya uang. Jangankan untuk beli
hadiah, untuk makan sehari-hari aja harus berjualan dulu. Itu pun hanya emak yang berjualan.
Bel sekolah berbunyi, yang
menandakan jam masuk
dan semua murid harus masuk kelas untuk menerima pelajaran.
Pada pelajaran kali ini aku tidak
konsentrasi mendengarkannya, apapun yang diterangkan oleh Ibu Cahya, guru matemaktika,
tidak masuk ke otakku. Semuanya seakan menolak menerima materi dari Bu Cahya.
Pikiranku
memutar kembali percakapanku dengan Rosi tadi, aku harus ngasih apa ya untuk emak?
Aku pengen lihat
wajah emak yang tersenyum bahagia, kapan ya terakhir kali aku melihatnya? Aduh,
tapi aku harus kasih apa? Uang aja aku nggak punya, apa aku harus kerja dulu
supaya mendapatkan uang untuk membelikan hadiah untuk emak. Ya, aku harus
bekerja, tapi pekerjaan apa yang menerima pekerjanya anak kelas 6 SD?
“Laras,
coba kamu soal di depan.” Kulihat bu Cahya menatapku yang tekejut dengan
perintahnya..
Hah?
Gawat. Dari tadi kan aku
nggak merhatiin apa yang ibu jelasin? Ya ampun,.. Ya Allah bantulah aku..
“Cepat,
kenapa kamu masih bengong?” ternyata Ibu Cahya serius. Gawat.
“I..iya,
bu.” Akupun beranjak dari kursiku, dan kulihat Rosi yang duduk di sampingku
meringis takut.
# # #
“Kamu
sih, tadi pake ngelamun segala. Untung kamu bisa, kalau nggak, ampun deh, kamu
tahu sendiri kan hukuman apa yang bakal dikasih Bu Cahya, kalau ada anak yang
nggak bisa di pelajarannya.” Kata Rosi ketika pulang sekolah, ternyata dia
membahas soal tadi.
Untung
tadi aku bisa menjelaskannya, yang kebetulan materinya aku lumayan paham, jadi
tidak terlalu sulit untuk menjelaskan kembali.
“Siapa
dulu, Laras.. hahaha..” kami tertawa.
“Oh
iya, ci. Kamu tahu nggak pekerjaan yang bisa menerima anak kelas 6 sd?” aku
mencoba bertanya kepada Rosi soal pekerjaan yang bisa menerimaku sebagai
pegawai.
“Untuk
siapa?” tanyanya selidik. “Jangan-jangan, kamu mau kerja untuk dapat uang
supaya bisa beliin hadiah untuk emak?”
Rosi menohokku
dengan pertanyaannya.
Aku
diam, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Niatku sudah ketahuan oleh Rosi.
“Jadi
bener? Jawab, Ras! Ya ampun, jadi dari tadi kamu ngelamun, cuma mikirin masalah
itu?”
Aku
mengangguk pelan, aku tidak berani menatapnya. Dia terlalu baik untuk tahu
masalahku.
“Kenapa
kamu nggak bilang sama aku, kalau kamu butuh uang untuk beli hadiah untuk emakmu. Aku kan bisa bantu minjemin untuk kamu.”
“Nggak,
aku nggak mau menerima uang itu dari kamu. Aku mau bisa membelikan hadiah untuk
emak dengan hasil jerih payahku sendiri.”
“Oke,
terus kamu mau kerja apa? Memakngnya ada yang mau menerima pegawai yang masih
sekolah di kelas 6 SD? “
“Makanya
aku tanya sama kamu, kalau aku tahu ngapain aku tanya sama kamu.”
“Kamu
kan lumayan pinter, gimana kalau kamu jadi guru privatku?”
“Hah?
Jadi guru privat kamu?” tanyaku terkejut, karena ide itu tidak pernah terpikir
olehku.
“Yaps,
aku kan belum ngerti di pelajaran matemaktika, nah sedangkan kamu pinter banget
matemaktikanya. Gimana kalau kamu
yang ngajarin aku matemaktika? Soalnya sekarang ini mamaku lagi mencari guru
privat matemaktika untukku sebelum Ujian.”
“Memakngnya
aku bisa ngajarin kamu?”
“Ya
ampun Laras, tadi kamu bisa menjelaskan ke temakn sekelas. Masa kamu nggak bisa
ngajarin aku yang cuma sendiri?
Kita bisa seperti belajar kelompok.
Cuma bedanya kamu dibayar. Mamaku pasti senang.”
“Oke
deh aku coba.”
“Nah
gitu dong, demi emakmu,hehe. Jangan
banyak ngelamun lagi ya. Oh iya mulai
belajarnya besok ya, aku tunggu di rumah jam 4 sore.”
“Besok?
Cepet amat,”
“Kan
hari ibu tinggal dua minggu
lagi. Jadi, mulai besok kamu harus
kerja supaya bisa dapat uangnya.”
# # #
Akhirnya
tawaran Rosi aku terima, dan sekarang adalah hari ke tiga belas aku menjadi guru
privatnya karena besok aku harus membelikan hadiah spesial untuk emak di hari
ibu, yang selama ini belum pernah aku lakukan.
Rasanya
tidak sabar untuk menunggu hari esok. Besok aku akan menerima gaji pertamaku
hasil keringatku sendiri. Ternyata rasanya berbeda ketika emak memberikan uang
jajan dengan uang hasil kerjaku,hehe.. Aku tertawa dalam hati sambil memakndang
langit-langit kamarku yang sudah terlihat bolong-bolong yang kalau musim hujan
datang aku selalu mendapatkan
jatah airnya.
Oh
iya, kira-kira besok aku akan membelikan hadiah apa ya untuk emak? Rosi
berjanji mau mengantarku dan menbantuku untuk mencari hadiah untuk emak.
Akhirnya
karena lelah menghayal, dan tidak sabar untuk menunggu besok, aku terlelap yang
sebelumnya aku
sudah shalat isya dulu. Walaupun kami orang miskin tapi
kami selalu mengingat siapa yang menciptakan kami,emak selalu menasehatiku,
“Sesibuk apapun
kamu nanti, kamu jangan sekali-kali meninggalkan shalatmu. Karena shalat adalah
tiangnya agama, jika tiangnya tidak ada maka robohlah bangunannya. Begitu pula
dengan shalat, jika kita lalai mengerjakan shalat maka robohlah agama kita.”
# # #
“Laras,
emak pergi dulu ya, jangan lupa kunci pintunya. Terus nanti shalat subuh, kalau
mau berangkat sekolah sarapan dulu, emak udah siapin sarapannya di meja dapur.
Hati-hati ya, jaga diri baik-baik.” Suara emak sebelum pergi ke pasar.
Tumben
emak pesannya panjang, aneh, tidak biasanya emak begitu. Biasanya kalau mau
berangkat dia cukup bilang “Emak pergi dulu,” yang lainnya aku sudah tahu.
Aku
kembali tidur, setelah sebelumnya mengunci pintu rumah sesuai pesan emak.
Di
tidurku, aku bermimpi aneh. Aku bertemu dengan emak, tapi wajahnya terlihat
muda, dia tersenyum bahagia di depanku. Ketika aku menghampirinya dia semakkin
menjauh meskipun senyumnya tidak pernah hilang.
# # #
Ketika
di sekolah, aku menceritakan mimpiku kepada Rosi dan juga sikap aneh emak. Dia
menenangkanku kalau tidak akan terjadi apa-apa dengan emak. Tapi perasaanku
hari ini sungguh tidak enak, sejak mimpiku semaklam.
Rosi
menghiburku dengan memberikan gaji pertamaku, akhirnya aku kembali senang
karena aku akan membelikan hadiah untuk
emak. Hari ini hari ibu, tadi sebelum emak pergi aku lupa
mengucapkan selamat, tapi ya sudahlah nanti saja sekalian dengan hadiahnya.
Pulang
sekolah, aku dan Rosi pergi jalan-jalan untuk mencari hadiah yang cocok untuk emak. Rosi pun akan membelikan
hadiah untuk mamanya. Setelah
keliling toko kami pun menemukan hadiah yang cocok, Rosi untuk mamanya dan aku
untuk emak.
Aku
pulang dengan perasaan yang tidak sabar ingin melihat senyum emak. Emak pasti
senang dengan hadiah ini. Selama perjalanan pulang aku terus tersenyum sambil
bernyanyi. Mungkin orang mengira aku gila, biarlah yang penting aku ingin cepat
sampai di rumah,
dan cepat bertemu emak, semoga saja emak sudah pulang
dari pasar.
Sesampainya
di rumah, aku heran kenapa banyak orang yang datang. Ada apa sebenarnya? Ah,
jangan-jangan mereka mau mengucapkan selamat kepada emak kalau... Tapi ini aneh
kenapa wajah mereka tidak terlihat senang malah sebaliknya, mereka terlihat
sedih.
“Yang
sabar ya, Ras.!” Seorang ibu,
tetangga sebelah rumah yang sudah kukenal menghampiriku
dan memelukku tiba-tiba.
Aku
masih bingung, kenapa dia dan
orang-orang yang datang ke rumah menangis dan melihatku
seperti rasa iba dan
memberikan dukungan.
“Ada
apa?” tanyaku heran kepada ibu yang memelukku, perlahan dia melepaskan
pelukannya. Lalu mengusap matanya yang basah.
“Emakmu...”
belum selesai dia bicara, dia kembali menangis dan memelukku lagi.
“Ada
apa dengan emak?” tanyaku mulai panik, karena perasaanku mengatakan ada sesuatu
yang telah terjadi.
“Masuklah
ke dalam, kamu pasti akan mengetahuinya.”
Tanpa
bertanya lagi aku masuk ke dalam rumah
yang masih banyak orang. Ketika aku masuk, aku tidak bisa berkata apa-apa. Saat aku memaksuki rumah aku melihat satu sosok yang
terbaring kaku di atas meja. Kakiku terasa berat
melangkah untuk menghampiri sosok itu.
Kain putih membungkus badannya.
Aku
tidak percaya kalau sosok itu adalah orang yang kusayangi dan sangat menyayangiku dan
selalu ada di sampingku ketika tidur, orang yang akan kuberi hadiah saat ini, iya orang itu
adalah emak.
Matanya tertutup, bibirnya yang sudah pucat masih membentuk seulas senyum.
Air
mataku jatuh juga ketika kucoba menahannya, aku menangis di depannya,
orang-orang yang sedang mengaji di setiap pinggir mencoba menahanku.
“Emak...
bangun ma.. ini Laras bawain
hadiah untuk emak.. emak cuma tidur kan, bangun ma, jangan tinggalin Laras...” aku
meraung. Memeluk sosok dihadapanku,
aku tidak percaya itu adalah emak. Perasaanku tidak
karuan. Tubuhku lemaks, hadiah yang sudah kubeli jatuh entah dimana.
“Ini emak mu Ras, kamu yang sabar ya. Semua yang
bernyawa akan kembali kepada sang Penciptanya. Allah sangat sayang sama emak,
sehingga Dia mengambilnya lebih dulu dari kita. Ini sudah qada, tidak ada yang
tahu kapan kemaktian itu akan datang. Kemaktian, jodoh dan rizki sudah tertulis
di Lahul Mahfuz. Kamu harus sabar dan tawakal.” Kata pa ustadz ngajiku melepaskan
pelukanku dari emak.
Astaghfirullah.. kenapa aku begini. Benar kata pa
ustadz, tidak ada yang tahu kapan kemaktian itu akan datang.. Innalillahi wa
inna ilaihi ra’jiun.
“Iya pa ustadz,hiks..hiks..” Aku mencoba menghentikan
tangisanku.
“Sekarang lebih baik Laras mendoakan emak, supaya amal
ibadahnya diterima di sisi Allah SWT. Jadilah anak yang sholehah yang selalu
mendoakan kedua orang-tuanya.”
# # #
Gundukan
tanah yang masih merah di depanku adalah tempat peristirahatan terakhir emak. Emak
telah meninggalkanku untuk selama-lamanya. Kini
aku tinggal dengan keluarga baruku, yaitu keluarga Rosi. Mereka juga sangat menyayangiku.
Pesan waktu subuh itu adalah pesan terakhir emak,
dan aku belum sempat meminta maaf
ataupun mengucapkan terima kasih dan selamat
hari ibu. Aku menaruh hadiah yang sudah kubeli untuk emak di sebelahnya. Meskipun aku sudah memiliki keluarga baru, tetapi
posisi emak di hatiku tidak ada yang bisa menggantikannya.
Selamat
hari ibu..emak..
Selamat
jalan, emak. aku selalu menyayangimu..